Rabu, 18 April 2012

Asean - China Free Trade Aggrement (ACFTA)


kian menjadi polemik bagi bangsa Indonesia. Mukadimah tahun ini menjadi momentum besar yang digunakan sebagai pengesahan perjanjian perdagangan internasional tersebut. Indonesia sendiri telah dengan gamblang mendeklarasikan pengesahan hubungannya dengan China sebagai partner dagang. Jadi secara tidak langsung, tahun ini perjanjian internasional tersebut telah legal untuk direalisasikan diseluruh lini perdagangan Indonesia yang terkait.

Pemerintah seolah mengemban misi penting dalam pengesahan kerjasama yang menimbulkan
berbagai reaksi keras dari para pebisnis tersebut. Asosiasi Industri Plastik, Aromatik, dan Olefin Indonesia (INAplas) meminta pemerintah menunda pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas ASEAN (ACFTA) dari Januari 2010 menjadi 2015. Lebih jauh lagi INAplas sejak awal juga telah meminta penundaan FTA ASEAN dengan negara lain, di antaranya China, Korea, India, Jepang, Australia, dan Selandia Baru.

Tanggapan senada juga muncul dari dunia tekstil Indonesia. Menurut Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy, penerapan FTA ini berpotensi menurunkan penerimaan negara. Bahkan, pada tahun 2010 potensi defisit perdagangan tekstil dan garmen diperkirakan mencapai lebih dari 1,2 miliar dollar AS.

Reaksi keras tidak hanya datang dari pelaku bisnis, namun anggota DPR pun ikut angkat bicara. Komisi VI DPR Komisi IV meminta pemerintah melakukan renegoisasi perjanjian kerja sama ACFTA sekaligus menunda perjanjian di sektor-sektor yang terkait perdagangan bebas. Banyaknya keberatan yang muncul dari berbagai kalangan tersebut harusnya dijadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk tetap melakukan pengimplementasian Free Trade Area dengan negeri tirai bambu tersebut di tanah air. Namun fakta yang ditemukan adalah FTA ASEAN-China justru resmi diratifikasi Indonesia pada 1 Januari 2010 yang ditandai dengan penghapusan bea masuk dalam program normal track. Gejolak masyarakat terkait penerapan hubungan dagang dengan China tersebut seakan diabaikan oleh pemerintah. Hal tersebut tentu saja mencengangkan dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejatinya apa factor utama yang menyebabkan pemerintah tetap kukuh memberlakukan Free Trade Area dengan China?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar